Thursday, September 25, 2014

Pada akhirnya

Berlarian pengumpul gincu melebarkan langkahnya sore itu.
Menziarahi rak berakhiran tujuh dan terlukis daun yang membatas,
bernamalah ia narcissus abadi. 
Sempat tertipu pukul empat menemu, meski terpingkal geli seminggu.
Rasa-rasa tenggelam bagainya mencium aroma buku baru,
yang ingin terbaca lihai melulu.

Monday, July 21, 2014

Dusk, Rain and Little wishes

Waktu itu entah tanggal 6 atau 7 di bulan mei, baru pulang ngampus terpaksa harus berteduh dulu di halte TM di Jl. Demang Lebar Daun di depan Rs. Siti Khadijah. Gara-gara hujan yang awet dan rumah yang masih jauh, aku ikhlas banget nunggu lama-lama disana.
Ga sendiri sih, tapi banyak juga pengendara motor lain ikut berteduh yang kayaknya siswa/i keperawatan, sepertinya mereka baru pulang juga.
Udah lebih dari setengah jam, hujan masih ga berenti-berenti malah semakin deras aja. Rasanya udah lama kota ini ga diguyuri hujan, karena biasanya disini panas terik kayak punya sembilan matahari.
Iya kota ini telah berbeda, rasanya ketika aku masih SMA pun kota ini masih sejuk... Hmm.

Satu-persatu orang pun meninggalkan halte ini dan mulai menerobos gerimis yang lumayan reda. Aku pikir juga sampai kapan harus nunggu hujan ini benar-benar berhenti, lagipula untuk pulang ke rumah walaupun ntar kebasahan juga kan ga apa-apa...
Dan hingga akhirnya benar-benar aku menjadi orang terakhir yang berteduh disana, tetapi ketika aku hendak beranjak pun dari arah lain terlihat seorang anak laki-laki yang berlari-lari kecil menuju halte ini.
Benar-benar anak ini telah menarik perhatian ku hingga aku memutuskan untuk duduk kembali.
Jadi tinggallah kami berdua di halte itu.

Seorang anak laki-laki yang memakai seragam SD, memakai sendal jepit yang kebesaran, dan membawa sedikit tumpukan koran untuk dijual yang tak luput kebasahan karena derasnya hujan.
Seorang anak yang cuek yang ntah sedari kapan tak sadar kalo aku memperhatikannya.
Ditaruhnya koran-koran tadi tak jauh dari tempat ku duduk. Kemudian dia berbalik ke arah ujung halte membelakangi ku. Yang aku lihat dia menyentuh air hujan yang jatuh dari atas atap pelindung halte sambil pandangannya lurus pada jalan raya yang ada di depannya. Kemudian dia berbalik lagi melihat korannya yang kebasahannya, dengan sesekali memeluk tubuhnya sendiri yang kedinginan.
Tak lama hingga akhirnya dia sadar dengan keberadaanku...

"Ayuk, korannyo yuk..."

Melihat koran basah yang disodorkannya, dengan refleks aku bilang tidak usah padanya.
Sambil memberinya sejumlah uang yang tentu tak seberapa, aku sedikit bertanya tentang sekolahnya yang rupanya tak jauh dari sana.
.
.
.
Hari semakin sore, akhirnya aku harus benar-benar segera pulang dari sana,
Dengan rasa sesal karena ga kepikiran untuk bertanya siapa namanya...

Anak itu memiliki mata yang sendu namun berbinar, sepertinya dia kelak menjadi lelaki tangguh dan kuat :)

Saturday, January 11, 2014

Fiksi mini

Bunga layu  “Lihatlah ternyata dia potong rambut!”  “apaan sih!”

Topeng “Cepatlah berdiri atau dia akan lebih marah!”  “Tunggu, tinggal satu batang rokok ini”

Buta – “Aku tak butuh saranmu!”  “Aku menyerah, kau sedang jatuh cinta”

Bayangan – “Pilih sahabat atau kekasihmu?”  “Aku mengenalnya lebih lama”

Pencari Tuhan “Berhentilah bicara!”  “Aku ingin masuk surga dulu baru mati!” 

Friday, January 10, 2014

Panutan

Dulu aku seorang pendongeng puteri bulan di kala hujan
Di ruang tengah rumah kayu, dikelilingi 2 anak perempuan
Duduklah kami di bawah mesin jahit mengayunkan badan
Tak pernah tergantikan tas biru muda selempangan

Dulu aku seorang penyair di celah dinding
Merangkai lirik bersama pijakan diatas sofa
Memainkan operet sendiri dengan panggung bayangan 
Adalah aku, tokoh utama yang berteman khayalan

Dulu aku seorang penulis cerita puteri kerajaan
Mencipta huruf ajaib melampau dua garis
Tak pernah lengkap tiang-tiang kisah lain
Hanya senang membuat banyak nama anak kecil